Bojonegoro, Liputanbojonegoro.com – Organ otak memiliki fungsi vital bagi kesadaran manusia. Sehingga, setiap orang perlu untuk menghindari cedera otak, termasuk mengetahui penyebab dan pencegahannya.
Tema menarik ini dibahas lengkap dalam program siar SAPA! Malowopati, Rabu (11/9/2024). Program siar radio ini menghadirkan dr. Achmad Zamroni, Sp.BS, spesialis bedah saraf RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo.
Dalam pemaparannya, dr. Zamroni menjelaskan struktur otak terdiri dari tiga bagian utama, yaitu otak kanan, otak kiri, dan otak kecil. Semuanya dihubungkan oleh batang otak. Batang otak memainkan peran penting sebagai penghubung antara otak dan sistem saraf tubuh lainnya.
“Otak dapat diibaratkan seperti pusat kontrol listrik tubuh. Jika terjadi gangguan di salah satu bagian otak, hal tersebut dapat mempengaruhi bagian tubuh lainnya,” jelasnya.
Salah satu topik penting adalah perbedaan antara cedera kepala dan cedera otak. Menurut dr. Zamroni, cedera kepala belum tentu mengganggu fungsi neurologis, sementara cedera otak terjadi ketika fungsi neurologis otak terganggu. Penyebab cedera otak bisa bervariasi, mulai dari trauma benturan, pendarahan spontan seperti stroke, tekanan akibat tumor otak, hingga hidrosefalus pada bayi.
Diagnosis cedera otak, lanjut dr. Zamroni, dapat dilakukan secara subjektif melalui wawancara pasien dan juga diagnosis objektif melalui CT scan, alat wajib dalam bidang bedah saraf. Selanjutnya, dr. Zamroni menjelaskan klasifikasi cedera otak berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS). Skala ini menilai tiga parameter utama, yaitu respon mata, verbal, dan motorik. Cedera otak dikategorikan menjadi ringan, sedang, atau berat.
“Cedera otak ringan mungkin hanya menimbulkan gejala seperti pusing atau vertigo, sedangkan cedera otak berat dapat menyebabkan penurunan kesadaran yang signifikan,” katanya.
Sesuai data di Indonesian Journal of Neurosurgery, mayoritas pasien cedera otak adalah laki-laki (64,75%), dengan kelompok usia 11-20 tahun sebagai yang paling banyak mengalami cedera (24,75%). Dr. Zamroni mencatat bahwa 81,25% dari kasus cedera otak disebabkan oleh kecelakaan kendaraan roda dua, sementara trauma jatuh menyumbang 15% dari total kasus.
Dr. Zamroni juga menggarisbawahi pentingnya pencegahan cedera otak. Ia merekomendasikan penggunaan helm saat berkendara sepeda motor dan sabuk pengaman saat mengemudikan mobil.
“Pencegahan adalah langkah terbaik untuk mengurangi risiko cedera otak yang serius. Hal ini sangat penting mengingat banyaknya kasus cedera otak akibat kecelakaan lalu lintas,” tambahnya.
Dalam hal penanganan cedera otak, tidak semua kasus memerlukan tindakan operasi. “Keputusan untuk melakukan operasi tergantung pada volume pendarahan dan ketebalan pendarahan di otak. Jika pendarahan mencapai 30 cc atau lebih, maka operasi mungkin diperlukan,” jelas dr. Zamroni.
Bagi kasus yang tidak memerlukan operasi, pasien biasanya memerlukan observasi intensif di ICU atau HCU karena pendarahan merupakan proses berkelanjutan yang sewaktu-waktu dapat semakin parah.
Poli bedah saraf RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pasien. Fokus utama dalam penatalaksanaan bedah saraf adalah mengurangi angka kematian dan risiko kecacatan.
Tujuan utama dari intervensi bedah saraf meliputi beberapa aspek, yakni mencapai kesembuhan maksimal, memungkinkan pasien untuk hidup dengan cacat sedang namun masih dapat beraktivitas sendiri. Atau hidup dengan cacat berat yang memerlukan bantuan orang lain untuk beraktivitas.
Dalam kasus yang lebih parah, seperti locked-in syndrome atau keadaan vegetatif, penanganannya adalah menyediakan perawatan yang terbaik dan mengurangi penderitaan pasien. Meskipun begitu, dalam beberapa kasus yang sangat serius, kemungkinan terburuk seperti meninggal dunia tetap menjadi bagian dari realitas yang harus dihadapi.